
i
Oleh: Nawawi A. Manan
Nama lengkapnya Kiai Samsuri, tetapi ia lebih terkenal dengan sebutan “Yai Suri”. Sebutan itu sangat tepat karena suri (sisir) adalah perangkat untuk merapikan rambut, berkonotasi posistif.
Sebutan “Yai Sam” memang lebih keren, tetapi kurang bagus karena bisa diidentikkan dengan penyanyi pop era 1980-an: Syam Bimbo dan Sam D’Lloyd, atau Paman Sam.
Anda masih ingat pada wajah Emil Salim? Hampir seperti itulah wajah Yai Suri. Memang lebih ganteng Emil Salim, tetapi wajah Yai Suri lebih bening dan senyumnya tulus, benar-benar tulus.
Senyum itu tidak hanya pantulan keramahan, tetapi juga optimisme, sebagai ekspresi keikhlasan dalam menerima setiap ketetapan Tuhan. Senyum itu juga cermin bahwa Yai Suri selalu bersikap khusnu zhan terhadap siapa dan apa pun, apalagi kepada Tuhan.
Yai Suri bukan ulama sekaliber Mbah Kholil Bangkalan atau Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Karena itu, Anda tidak akan dapat menemukan namanya dalam buku sejarah mana pun. Namanya hanya tercatat dalam buku harian yang saya tulis pada awal 1980-an, yang kemudian tercecer entah di mana, bersama klipingan cerpen dan puisi-pusi saya ketika saya melaksanakan tugas jurnalistik di wilayah eks Karesidenan Besuki.
Yai Suri adalah guru ngaji kelas kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia berkerja sebagai tukang potong rambut nomaden yang mengikuti putaran pasaran: pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Pada pasaran wage ia membuka praktik di pasar yang hanya buka pada setiap wage, dan seterusnya, berpindah-pindah setiap hari.
Setiap ke pasar ia menggunakan pakaian khas yang menunjukkan jati dirinya sebagai guru ngaji: sarung palekat kotak-kotak, atasan payama dengan motif garis-garis seperti kain kasur, kopyah hitam yang ujung depan serta bagian bawahnya tampak kecoklatan, dan alas kaki klompen kayu waru warisan cecunguk Ratu Wilhelmina.
Pelangannya terdiri atas bapak-bapak sepuh dan anak-anak yang belum berpikir tentang model potongan rambut. Jika memotong rambut anak-anak hasilnya kurang bagus; antara rambut bagian atas dengan bagian samping gradasinya tidak kronologis. Model potongan rambut seperti itu disebut potong bathok (tempurung) karena tampak seperti tempurung tengkurap.
Anak-nak berusia 10 tahun lebih, yang sudah bisa berpikir tentang model potongan rambut, hampir tidak ada yang menjadi pelanggan Yai Suri. Saya juga bukan pelanggan Yai Suri karena, pada era hingga 1970-an, model potong bathok identik dengan (maaf) keterbatas ekonomi.
Kelemahan Yai Suri paling menonjol, ia kurang pandai merawat alat-alat potongnya, terutama gunting suru. Jika terdapat gigi gunting suru kurang tajam, tidak semua rambut yang digaruk terputus. Ketika gunting suru ditarik dari kulit kepala untuk membuang potongan rambut, rambut yang tidak putus sama dengan dicabut paksa, dan terasa clekit!
Sebagai tukang potong rambut maupun guru ngaji, Yai Suri tidak popular, tetapi sangat popular di hadapan Allah SWT karena ia hamba yang amat sabar dan selalu bersyukur.
Seorang paman saya pernah bercerita, Yai Suri tidak seperti para koleganya yang meninggalkan lokasi ketika pasar tutup, sekitar pukul 11.00. Ia selalu pulang lebih awal. Jika upah yang diperoleh sudah cukup untuk biaya hidup sehari, ia segera mengemasi peralatan potongnya, berbelanja kebutuhan dapur, kemudian pulang.
“Yai Suri kuwi wong sing nriman. Cara uripe kaya manuk, nek nggolek rejeki sak cukupe. Manuk kuwi nalika nggolek pangan, yen wetenge wis wareg ya enggal balik menyang omahe,” kata paman.
Paman juga bercerita, Yai Suri adalah jamaah tarikat Qadiriyyah wan Naqasabandiyyah asuhan KH Romli Tamim Peterongan, Jombang. Jadi, Yai Suri hidup dengan rejeki pas-pasan bukan karena ketidakberuntungan, melainkan pilihan atas dasar kesadaran.
“Gak sembarang wong bisa nglakoni urip kaya Yai Suri. Apa maneh wong jaman saiki, nek nggolek rejeki wis gak ana sing ngereken hukum,” tambah paman dengan tersenyum kecut.
Saya tidak pernah belajar kepada Yai Suri, meski hanya satu huruf, tetapi ia termasuk guru utama saya karena mengajari saya agar selalu tersenyum. Sering, wajahnya yang bening dan sumringah membayang dalam benak saya dengan senyum yang khas.
Kadang-kadang saya menyesal karena tidak pernah memangkaskan rambut kepada Yai Suri. Sebab, di balik keterbatasan kemampuan Yai Suri terdapat kewaskitaan. Pada akhir-akhir ini, potongan rambut bathok tengkurap menjadi salah satu model yang digemari oleh pemain bola kelas dunia, terutama para jawara berkulit hitam dari Afrika.
Yang lebih penting, sentuhan tangan Yai Suri pada kepala saya insya Allah bisa membuat saya lebih arif dalam membaca situasi, terutama dalam membedakan antara perjuangan dan perpecundangan.
Penulis adalah Dewan Pakar PC Lesbumi NU Sidoarjo, pernah mendapat Penghargaan Publikasi Keaksaraan dari Mendikbud RI pada Peringatan Hari Aksara Internasional 2010 di Balikpapan
Assalamualikum wr wb,
Dear admin,
Mohon maaf kami mau tanya, bagaimana cara membuat kartu NU? Kami warga bangah gedangan sidoarjo.
Mohon petunjuk barangkali harus menghubungi siapa
Best regards
Capt. Dimas yanuar istanto, S.SIT, M.Mar
Bisa menghubungi ranting NU di desa/kelurahan setempat.