Oleh : Ustadz Zainal Abidin (Wakil Rais MWCNU Tarik)
Dalam konteks tempat terdapat tempat-tempat berkah, beberapa lokasi suci termasuk tempat pemakaman Rasulullah SAW, Roudhoh Syarifah, Ka’bah Musyarrofah, Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsa, dan banyak lainnya. Tempat-tempat ini dihormati dan dianggap sebagai tempat yang mendapatkan berkah karena kaitannya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam. di sisi lain, ada juga tempat-tempat yang dianggap tidak diberkahi, seperti sumur Barhut, pasar, atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat turunnya kutukan.
Dalam kaitannya dengan kalender Islam, terdapat beberapa hari yang dianggap sangat istimewa dan penuh berkah, seperti Lailatul Qadr, malam pertengahan bulan Sya’ban, dan malam kesepuluh bulan Dzulhijjah. Pada hari-hari tersebut, umat Muslim melakukan berbagai bentuk ibadah dan berdoa kepada Allah SWT, berharap mendapatkan ampunan dan keberkahan.
Dalam kalender Islam, juga terdapat beberapa hari seperti Senin, Kamis, dan Jumat dianggap lebih baik daripada hari-hari lainnya. Ini mungkin karena kaitannya dengan peristiwa sejarah atau kepercayaan tertentu dalam agama Islam.
Selain itu, bulan-bulan tertentu seperti Rabi’, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, dan Dzulhijjah dianggap lebih berkah dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya seperti Safar, Jumada al-Awwal, dan Jumada Akhir. Ini menggambarkan pentingnya penanggalan dalam praktik keagamaan umat Islam.
Sebagaimana tempat ada yang diberkahi dan ada yang tidak diberkahi dalam hari juga terdapat hari yang dianggap sebagai “hari sial” atau “hari sial terus-menerus.” Pada hari-hari tersebut, umat Muslim juga berdoa kepada Tuhan untuk memohon perlindungan dari potensi malapetaka. Tradisi ini mencerminkan kepercayaan dalam kekuatan doa dan perlindungan ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan banyak lagi menjalankan tradisi kuno yang dikenal sebagai “Rabu Wekasan” atau “Rebo Wekasan.” Rebo Wekasan adalah tradisi yang diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai hari potensial datangnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam. Banyak orang melakukan upaya spiritual seperti berdoa dan beribadah pada hari tersebut untuk memohon perlindungan dari Allah SWT dan menghindari bencana yang diyakini diturunkan pada malam tersebut tanpa menghubungkan dengan tasyaum atau tathoyyur, .
Ritual Rabu Wekasan terdiri dari empat komponen utama. Pertama, ada shalat tolak bala’, di mana umat beribadah dan memohon perlindungan dari bahaya yang mungkin mengancam. Kedua, doa-doa khusus digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa dan memohon keberkahan serta keselamatan. Ketiga, minum air jimat adalah bagian penting dari ritual ini, dengan keyakinan bahwa air tersebut memiliki kekuatan pelindung. Terakhir, ada selamatan, sedekah, silaturrahim, dan perbuatan baik kepada sesama, yang dianggap sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan mendatangkan berkah. Tradisi ini telah diwariskan turun-temurun, dan tujuannya adalah untuk memohon perlindungan dari Allah Swt terhadap potensi malapetaka yang dipercayai diturunkan pada hari tersebut.
Rabu Wekasan adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai keagamaan dan budaya terjalin erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dan sekitarnya. Ritual ini mencerminkan kepercayaan mendalam dalam perlindungan ilahi dan pentingnya berbuat baik kepada sesama. Meskipun zaman terus berubah, tradisi Rabu Wekasan tetap hidup dan menjadi bagian penting dari identitas budaya meskipun tradisi Rebo Wekasan ini menuai pro-kontra dari berbagai kalangan karena dianggap tidak ada dalil khusus.
HUKUM MEYAKINI
Asal-usul tradisi Rebo Wekasan dapat ditelusuri ke anjuran yang terdapat dalam beberapa kitab sufi, seperti “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid” yang dikaitkan dengan Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dan kitab “Al-Jawahir Al-Khams” oleh Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar. Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan bahwa seorang wali Allah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan spiritual tinggi) menyatakan bahwa setiap tahun pada Rabu terakhir bulan Shafar, Allah SWT menurunkan 320.000 macam bala’ dalam satu malam. Oleh karena itu, umat Islam disarankan untuk menjalankan shalat dan berdoa agar terhindar dari bala’ tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa klaim ini tidak selalu didukung oleh bukti yang kuat dalam sumber-sumber agama Islam yang sah. Beberapa sufi mungkin mendapatkan pengalaman spiritual yang unik, tetapi mereka mungkin tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk mendukung klaim ini. Hal ini telah menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, di mana beberapa orang mungkin meragukan keabsahan Rebo Wekasan sebagai ritual yang diakui dalam Islam.
Dalam menghadapi perdebatan seputar Rebo Wekasan, penting untuk melihat masalah ini dari berbagai sudut pandang yang mencakup aspek-aspek agama, hukum Islam, dan keyakinan sufi oleh karena itu perlu kita melakukan beberapa pertimbangan untuk meyakini atas kebenaran dari ilham tersebut.
Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa rekomendasi yang muncul dari sebagian ulama sufi, yang juga dikenal sebagai waliyullah, didasarkan pada apa yang mereka anggap sebagai ilham. Ilham adalah pengertian atau pemahaman yang datang dari Allah SWT dan dianggap sebagai semacam “inspirasi” rohani. Namun, penting untuk dicatat bahwa mayoritas ulama Ushul Fiqh, yang mengkaji prinsip-prinsip hukum Islam, tidak menganggap ilham sebagai dasar hukum yang kuat. Ilham tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram dalam Islam.
Kedua, ilham yang diterima oleh ulama sufi biasanya bukan dalam rangka memberikan hukum, tetapi sebagai informasi yang mereka terima dari “alam ghaib” atau alam spiritual. Oleh karena itu, anjuran yang muncul dari ilham mereka tidak dianggap mengikat, karena tidak berkaitan langsung dengan hukum Syariat Islam yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Ketiga, penting untuk menekankan bahwa ilham yang diterima oleh seorang wali (waliyullah) tidak boleh dijadikan pedoman atau diamalkan oleh orang lain, terutama orang awam, tanpa mencocokkannya dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits. Jika ilham tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dianggap benar dan diterima. Namun, jika ilham bertentangan dengan ajaran agama yang sudah ditetapkan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.
Pandangan sejumlah ulama sufi, yang sering disebut sebagai waliyullah atau para sufi yang mencapai kedudukan spiritual yang tinggi, dalam merekomendasikan praktik Rebo Wekasan didasarkan pada pengalaman ilham. Ilham dalam konteks ini diartikan sebagai inspirasi atau dorongan batin yang diyakini berasal dari Allah SWT.
Dalam pandangan ulama sufi, ilham yang diterima oleh seorang wali atau sufi tidak boleh dianggap sebagai pedoman yang mutlak untuk diikuti oleh orang lain, terutama oleh orang awam, sebelum membandingkannya dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits, dua sumber utama dalam Islam. Jika ilham tersebut sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits, maka dapat dipercaya sebagai yang benar. Namun, jika ada perbedaan antara ilham tersebut dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.
Penting untuk mencatat bahwa ulama sufi bukanlah dukun atau praktisi ilmu gaib yang tidak boleh dipercayai ucapannya. Dalam hal ini, al-Qadhi ‘Iyadh, seorang ulama terkenal dalam tradisi Islam, menegaskan bahwa semua jenis dukun atau praktisi ilmu gaib bertentangan dengan syari’at Islam, dan kita diharamkan untuk mempercayai mereka.
Nabi Muhammad saw juga telah memberikan peringatan tentang mempercayai dukun atau praktisi ilmu gaib. Salah satu pernyataan beliau yang relevan adalah sabda beliau, di mana beliau melarang umatnya untuk mempercayai praktisi ilmu gaib, beliau bersabda.
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR Muslim)
Dalam hadits lain, Nabi saw menyampaikan, orang yang berkonsultasi ke dukun atau peramal kemudian mempercayai ucapannya, maka ia telah dianggap kafir. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Quran yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR Ahmad)
Ulama sufi, yang sering kali disebut sebagai waliyullah, adalah individu-individu yang mendalamkan iman mereka kepada Allah dan mentaati segala perintah dan kehendak-Nya, termasuk firman-firman-Nya, penciptaan-Nya, izin-Nya, dan kehendak-Nya dalam kerangka agama. Kehidupan spiritual mereka kadang-kadang diberkahi dengan manifestasi-masif berupa karamah (keajaiban) yang menjadi bukti dan hujjah dalam agama Islam serta memberikan manfaat bagi umat Muslim.
Imam Ghazali, salah satu ulama sufi yang terkenal, mencatat bahwa Allah memberikan ilham kepada para siddiq (orang-orang yang sangat benar dalam iman dan tindakan) mengenai sejumlah tanda yang mengidentifikasi hamba-hamba-Nya yang istimewa. Mereka adalah individu yang mencintai Allah dengan sepenuh hati, merindukan-Nya, selalu mengingati-Nya, dan merasa dekat dengan-Nya. Mereka juga menjalani ibadah dengan kesungguhan hati, berdoa dengan penuh tulus, dan merenungkan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Para wali ini memiliki tanda-tanda yang khusus. Mereka selalu menjaga hati mereka dan merasa rindu dengan cahaya Allah di dalamnya. Mereka memiliki keutamaan yang luar biasa di mata Allah, bahkan lebih tinggi daripada seluruh alam semesta ini. Allah juga hadapkan wajah-Nya kepada mereka sebagai bukti cinta-Nya. Keutamaan-keutamaan ini diberikan kepada mereka sebagai hasil dari ketulusan dan dedikasi mereka kepada Allah. ( Ihya’ Ulumuddin jilid IV hal 324 dan Jilid I hal 358)
Namun, perlu dicatat bahwa ilham yang diterima oleh seorang wali tidak dapat secara langsung dijadikan pedoman oleh orang lain, terutama orang awam. Ilham tersebut harus selalu dicocokkan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Dalam konteks permasalahan Rebo Wekasan atau kepercayaan sejenisnya, penilaian terhadap ilham-individual perlu hati-hati dan sesuai dengan ajaran Islam yang sah.
Dalam konteks ini, beberapa Hadis yang berhubungan dengan turunnya waba’ (ujian) dan hadis tentang hari Rabu dapat menjadi dasar penilaian dan interpretasi dalam kepercayaan terkait Rebo Wekasan diantaranya:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ”. أخرجه أحمد (3/355 ، رقم 14871) ، ومسلم (3/1596 ، رقم 2014) ، وأخرجه أيضًا : أبو عوانة (5/145 ، رقم 8165) ، والبيهقيي في شعب الإيمان (5/127 ، رقم 6059).
“ tutuplah mulut-mulut kantong air (dari kulit) dan ikatlah tali pengikat mulut kantong air sesungguhnya di dalam setahun itu ada sebuah malam di mana Allah menurunkan wabah. Tiada bejana tanpa tutup atau kantong air tanpa tali pengikat yang dilewatinya, melainkan wabah itu mengendap pada keduanya.”
dalam hadis di atas tidak menentukan hari atau tanggal secara spesific, seperti angka atau hari dalam minggu mana pun.
firman Allah swt yang di pahami menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus.” (Q.S al-Qamar (54:19)
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil berkata :
قيل: كان ذلك يوم الأربعاء في آخر الشهر.
Dikatakan: hari nahas tersebut adalah hari Rabu akhir bulan.
Dalam hari Rabu, terutama Rabu terakhir setiap bulan, terdapat banyak hadis yang mengatakan bahwa itu adalah hari yang tidak baik dan membawa berbagai musibah. Sebagaimana Haditsnya rasulullah :
آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ.
“Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. )
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي
“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Dari penjelasan di atas Bulan Safar dalam kalender Islam sering kali dianggap sebagai salah satu bulan yang penuh dengan tantangan dan kesulitan. Hal ini didasarkan pada Riwayat-riwayat diatas dan Riwayat yang mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW mulai merasakan sakit dan penyakit yang akhirnya membawanya ke alam yang lebih tinggi pada bulan Safar. Selain itu, peristiwa cedera yang menimpa Umar bin Khattab RA juga tercatat terjadi pada Rabu terakhir di bulan Dzulhijjah.
Jika Pandangan orang awam terkait dengan bulan Shafar menciptakan keyakinan yang percaya bahwa bulan ini membawa kesialan dan malapetaka, bahkan sampai melarang bepergian selama bulan tersebut, karena mereka meyakini bahwa hari Rabu atau bulan Safar memiliki potensi untuk mendatangkan malapetaka. Keyakinan semacam ini seringkali dianggap sebagai bentuk thiyarah, yaitu meyakini pertanda buruk, yang dilarang dalam Islam.
Namun, ada juga yang memandang bulan Shafar secara berbeda. Mereka mempercayai ilham sebagian sufi bahwa malam tersebut adalah malam dimana Allah menurunkan bermacam-macam bala’ akan tetapi dia tetap menganggap bahwa bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya dan tidak memiliki kehendak sendiri. Bagi mereka, bulan tersebut berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT, maka keyakinan mereka tidak dianggap terlarang dalam Islam.
Sebagaiman pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah juga menegaskan pandangan ini. Ia mengklarifikasi bahwa bertanya tentang hari sial dan tindakan berdasarkan keyakinan tersebut, bukan untuk menghindarinya, adalah perilaku yang lebih sesuai dengan orang Yahudi daripada prinsip-prinsip Islam yang menekankan tawakal kepada Allah SWT.
Dengan demikian, Pentingnya mensosialisakan pemahaman yang benar tentang pandangan agama dalam menilai kepercayaan-kepercayaan yang benar.
HUKUM SHALAT & HUKUM BERDOA
Shalat Rebo Wekasan, seperti yang disarankan oleh beberapa ulama, tidak memiliki landasan dalam Syariat Islam karena tidak ada shalat yang disebut “Rebo Wekasan.” Namun, jika seseorang berniat untuk melakukan shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka ini diperbolehkan.
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus, imam Masjidil Haram, dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, menganggap bahwa Shalat Bulan Shafar termasuk dalam bid’ah tercela. Oleh karena itu, jika seseorang ingin melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut, seharusnya mereka berniat untuk melakukan shalat sunnat mutlaq tanpa ketentuan khusus seperti waktu, sebab, atau jumlah rakaat.
Sementara itu, berdoa untuk menolak bencana pada hari Rabu Wekasan diperbolehkan dalam Islam. Al-Hafidz Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa Syari’at mengajarkan kita untuk tidak mencari tanda-tanda buruk seperti thiyarah, tetapi sebaliknya, kita harus sibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menghindarkan bencana, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah SWT, serta mempercayai qadla’ dan qadar-Nya.
Hukum tentang Rebo Wekasan sangat tergantung pada niat dan cara pelaksanaannya. Jika sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka diperbolehkan. Namun, jika terdapat penyimpangan dalam keyakinan atau pelaksanaannya, maka hal tersebut dianggap haram. Bagi seorang tokoh atau imam sholat perlu memahami dan menjalankan tradisi ini dengan benar sesuai dengan ajaran Islam untuk menghindari bid’ah atau praktik sesat.
Hukum Menyebarkan atau Mengajak Orang Lain
Hukum menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengamalkan amalan-amalan rebo wekasan diperbolehkan dan merupakan kebaikan karenan amalan-amalan rabo wekasan bisa menjadi sarana dalam mendekatkan diri pada Allah agar terhindar dari Bencana dengan catatan adanya penjelasan yang komprehensif tentang rebo wekasan mulai dari keyakinan dan niat melakukannya.
Rasulullah SAW bahkan mengatakan bahwa siapa pun yang mengarahkan orang ke arah kebaikan akan mendapatkan pahala seolah-olah dia sendiri yang melakukannya. Ini adalah ajaran yang sangat penting dalam Islam.
Alquran juga menekankan pentingnya mengajak orang lain untuk berbuat baik. Allah SWT memerintahkan kita untuk menjadi pemimpin dalam mempromosikan kebaikan, mendorong tindakan yang baik, dan mencegah yang buruk. Orang-orang yang melakukan ini akan mendapatkan kebahagiaan.
Mengajak orang lain untuk berbuat baik adalah cara untuk menunjukkan perhatian kita kepada sesama. Hal ini juga mencerminkan sejauh mana seseorang memiliki iman. Semakin tinggi iman seseorang, semakin besar kepeduliannya terhadap orang lain, dan sebaliknya. Bahkan, jika seseorang tidak dapat mengubah sesuatu dengan tindakan fisik, dia masih bisa mengutuknya dalam hatinya, dan ini juga merupakan bentuk keimanan, meskipun yang paling lemah.
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT bukan hanya untuk membimbing individu menuju kesalehan, tetapi juga untuk membangun kesalehan dalam masyarakat. Ini dapat dilihat dari perhatian besar yang diberikan oleh Nabi SAW kepada umatnya. Sebelum diutus menjadi Rasul, dia merenungkan kondisi buruk masyarakat saat itu dan ingin membawanya ke arah yang lebih baik.
Puncak keberhasilan Rasulullah SAW dalam mengajak orang untuk berbuat baik dan mencegah yang buruk terlihat saat dia melakukan dakwah di Madinah. Dia berhasil menyebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat yang beragam, yang tidak hanya berbeda agama dan suku.
Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah memberikan pandangan tegas terkait pertanyaan mengenai Rebo Wekasan. Ia menegaskan bahwa Rebo Wekasan tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam dan bertentangan dengan syariat Islam. Umat Islam seharusnya diingatkan untuk tidak mengikuti atau mempromosikan praktik ini.
Pendapat tersebut diarahkan pada keyakinan bahwa Shalat Rebo Wekasan merupakan suatu kesunnahan tersendiri padahal sholat rebo wekasan tidak memiliki dasar yang kuat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama salaf. Oleh karena itu, tidak ada landasan yang kuat dalam tradisi Islam untuk mengakui atau mengamalkan Shalat Rebo Wekasan dengan keyakinan tersebut.
Namun, jika seseorang berniat melakukan shalat Rebo Wekasan sebagai shalat hajat lidafil bala’, yang artinya shalat untuk memohon perlindungan atau bantuan Allah dalam menghadapi bencana atau kesulitan, maka hal tersebut adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah bahwa dalam Islam, tradisi Rebo Wekasan, yang melibatkan kepercayaan terhadap mitos buruk pada hari Rabu dan pengambilan tindakan pencegahan berdasarkan kepercayaan tersebut, sangat dilarang. Ini karena dalam Islam, Allah dianggap sebagai satu-satunya yang memiliki kendali mutlak atas segala hal dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, kepercayaan pada mitos buruk dan praktik-praktik yang berkaitan dengannya dianggap salah.
Namun, tradisi ini dapat memiliki aspek positif seperti menganjurkan shalat, doa, dan amalan kebajikan. Tetapi, kesahihannya sangat tergantung pada niat dan pelaksanaan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Jika itu dilakukan sesuai dengan syariat, maka diperbolehkan. Namun, jika ada penyimpangan baik dalam keyakinan maupun pelaksanaannya, maka menjadi haram.
Kesimpulan yang lebih luas adalah bahwa tindakan dalam Islam harus didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya yang memiliki kendali atas semua aspek kehidupan. Dengan keyakinan ini, umat Islam tidak perlu khawatir tentang hari-hari tertentu atau mitos buruk yang berkeliaran, dan mereka seharusnya memohon perlindungan dan petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan mereka. Menganjurkan orang lain untuk berdoa dan melakukan shalat hajat adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
Editor : Boy Ardiansyah