
Oleh Nawawi A. Manan
Hingga akhir 1970-an, sebagian warga NU merayakan 3 hari raya: riyaya temenan (idul fitri), riyaya besar (idul adha), dan riyaya ondo-ondo.
Hadis paling dhaif pun tidak ada yang mejelaskan tentang riyaya ondo-ondo. Sebab, riyaya ondo-ondo hanya kegiatan budaya hasil ijtihad warga NU. Jadi, meskipun juga memiliki kandungan religiusitas, kegiatan tersebut tidak termasuk bagian dari bid’ah dhalalah karena bukan ubudiyah syar’i.
Riyaya ondo-ondo dilaksanakan untuk merayakan harla NU. Semua siswa Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) – hanya siswa MINU karena belum ada Madrasah Tsanawiyah – diminta membawa sebutir telur ayam atau itik.
Semua warga NU diminta sumbangan sesuai kemampuan masing-masing. Warga NU yang paling tidak NU pun, karena sama sekali tidak pernah melaksanakan kewajiban agama, ikut berpartisipasi. Semua orang kaya juga ikut menyumbang, lebih banyak berupa beras.
Guyonan pada waktu itu, orang kaya yang tidak memberikan sumbangan hanya orang-orang yang sudah ditakdir Allah SWT sebagai ahli neraka.
Pada pagi hari pelaksanaan, semua sumbangan dikumpulkan di sekolahan: padi, beras, sayur-mayur, buah-buahan, ayam, itik, kelapa, daun pisang untuk bungkus, biting, polo pendem, tebu, jantung pisang, katul pakan ayam/itik, dan lain-lain.
Pada sekitar pukul 14.00, ketika panas mentari agak surut, peserta pawai berangkat mengarak hasil sumbangan menuju Kantor Madjelis Wakil Tjabang (MWT), menempuh jarak sekitar 3 km. Peserta dari desa-desa lain ada yang menempuh jarak lebih jauh. Barisan terdiri atas siswa MINU, Fatayat, Muslimat, dan GP Ansor yang membantu bapak-bapak NU mengangkut barang sumbangan.
Sebagai cucuk lampah ialah anggota Ishari bersama pemain pencak dor berpakaian serba hitam seperti blantik sapi. Kolaborasi pukulan rebana dan kendang serta jidor membuat langkah peserta bersemangat. Prok-prok-brik… thong-dhing-thong-dhing-thong… dor…
Suara rebana dan gendang lebih rancak jika ditingkahi suara kentongan bambu. Akan tetapi, bapak-bapak NU tak mengizinkan karena musik perkusi tradisional itu, pada masa sebelum peristiwa G 30 S, digunakan oleh Pemuda Rakyat – organisasi pemudanya PKI – untuk bersaing dengan Ansor yang memainkan drum band pada saat pawai.
Telor dari siswa MINU wajib diangkut dengan becak agar tidak pecah. Beras, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain-lain diangkut dengan dokar, yang tidak terangkut dipikul oleh Ansor bersama bapak-bapak anggota Pertanian Nahdlatul Ulama (Pertanu).
Agar terhindari dari gesekan dengan benda lain, ayam dan itik dibawa sendiri oleh penyumbangnya dengan cara dikempit, juga ada yang digendong dengan kain panjang seperti menggendong bayi. Susahnya, ayam dan itik, jika membuang kotoran tidak pernah permisi, dan tahinya mengotori pakaian pemiliknya.
Pada sekitar ashar, peserta pawai dari semua ranting tiba di Kantor MWT, jumlahnya ribuan. Selain panas, hiruk-pikuk bukan kepalang karena semua regu menampilkan keahlian masing-masing, terutama hadrah dan pencak.
Sumbangan dikumpulkan di Kantor MWT, dihitung oleh panitia, kemudian diumumkan melalui sepiker. Beras, telor, sayur-mayur, dan lain-lain itu dijual kepada para tengkulak. Hasil penjualan ditambah sedekah para pengurus MWT dan para dermawan dimasukkan kas MWT.
“Pada masa lalu, semangat kemandirian warga dan pengurus NU luar biasa, ya, Cak?” kata seorang pengurus PAC Ansor setelah saya mengakhiri cerita.
Kemandirin itu adalah ajaran para salafus salih sejak zaman Walisanga. Ketika menyiarkan agama Islam, para wali tidak minta bantuan raja. Pada zaman Mbah Hasyim Asy’ari, para ulama tidak pernah minta bantuan pemerintah. Ketika Belanda menawarkan bantuan, para kiai tidak hanya menolak, tetapi menyingkir ke daerah pedalaman untuk membangun nasionalisme para pemuda, seperti gerakan Santiniketan dilakukan Rabindranat Tagore di India pada awal abad-20.
Pada masa orde baru, terutama pada pemilu 1971, 1977, dan 192 ketika NU masih menjadi bagian Partai Persatuan pembangunan (PPP), semangat kemandirian warga dan pengurus NU tetap luar biasa. Semua kebutuhan kampanye dicukupi sendiri dengan urunan.
Pada saat itu, para koordinator kampanye harus tombok karena tidak ada bantuan dari partai maupun caleg. Semua peserta kampanye juga bondo dewe-dewe.
“Kalau sekarang, koordinator bathine akeh, Cak,” kata seorang anggota Banser.
“Nek perlu bagiane anggotae disunat,” kata Banser yang lain.
“Arek iki wis pengalaman. Saben pemilu dadi bandar.”
Semua tertawa ngakak.
Setelah tawa reda, saya jelaskan bahwa semangat kemandirian warga NU tidak pernah berkurang. Buktinya, gerakan infaq yang dimulai setelah kegiataan PKPNU. Gerakan Koin Muktamar juga luar biasa. Akan tetapi, keikhlasan warga NU sering terganggu oleh ulah oknum para petinggi yang menerapkan paradigma terbalik.
“Yoopo, Cak?”
“Sesuai perintah Allah SWT, orang berjuang harusnya bi amwaalikum wa anfusikum.”
“Lha ternyata?”
“Bi anfusikum li amwaalikum!”
Semua kembali tertawa terpinggkal-pingkal.
“Ya iku sing kudu digarap dhisik, Cak!”
“Betul, Cak. Ketika mengambil uang infaq saya pernah mendapat sindiran. ‘Sing temenan, ya. Sing ngisor dijak urunan tapi sing dhukur nek entuk dum-duman dislenthem dhewe’”.
Tawa semakin riuh, tapi tidak menghalangi waktu yang terus bergerak ke arah shubuh.
Penulis adalah Dewan Pakar PC Lesbumi NU Sidoarjo.