Polemik Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Oleh: Cahyaning Mutiara Ramadhani

Lulusan Program Imtiyaz PP Al-Hidayah Sekaligus Mahasiswi Prodi PGSD Unusida

 

Maulidun Nabi atau kerap disebut maulud saja, yang dalam teks bahasa Arab arti dari maulud sendiri berarti lahir. Maulidun Nabi adalah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. yang diperingati pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal dalam penanggalan Hijriyyah oleh seluruh umat muslim di dunia, khususnya di Indonesia sendiri. Bahkan, terkadang di sebagian desa perayaan ini berlangsung mulai awal bulan hingga akhir bulan Rabi’ul Awwal. Dalam subtansi, perayaan ini sebagai rasa suka cita dan syukur kepada Allah atas lahirnya Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Pertanyaan, gugatan dan ungkapan tidak setuju terkait hal ini masih diperbincangkan oleh sebagian warganet di jejaring sosial. Bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Polemik ini sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Hal ini sudah pernah terjadi di masa lampau, sebagian kelompok menganggapnya sebagai bid’ah atau perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman Nabi. Dan mereka berpendapat bahwa hal ini dilakukan tanpa landasan Syari’at.

Ya, memang ada kelompok-kelompok yang anti dengan peringatan maulid Nabi. Sebut saja, kelompok Salafi-Wahabi, mereka beranggapan bahwa penyelenggaraan maulid Nabi merupakan bid’ah dan menyalahi tatanan syari’at. Karena mereka memiliki landasan dalil hadits Nabi :

كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu pasti ke neraka.

Memang perayaan maulid Nabi disini merupakan bid’ah. Karena perayaan semacam ini memang tidak ada pada zaman Nabi. Namun, perlu diketahui di sini, bahwa tidak semua bid’ah itu buruk dan menyalahi aturan syari’at.

Menurut Imam Syafi’i, bid’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela). Bid’ah Mahmudah atau Bid’ah Hasanah adalah bid’ah yang tidak bertentangan bahkan sejalan dengan tatanan hukum syari’at dan terkandung kebaikan didalamnya bahkan dapat mengundang ridho Allah. Seperti mempelajari ilmu Nahwu (ilmu gramatikal bahasa Arab) agar dapat memahami Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan Bid’ah Madzmumah atau Bid’ah Dhalalah adalah bid’ah yang menyimpang bahkan bertentangan dengan tatanan hukum syari’at. Seperti menambahakan gerakan dalam sholat.

Menurut kaidah bahasa Arab, lafadz  كل  tidak harus selalu bermakna ‘semua’ namun juga bisa bermakna ‘sebagian’. Nah, lafadz  كل  dalam hadits di atas secara lughoh memang bermakna ‘semua’, namun maksud lebih spesifiknya adalah semua bid’ah yang bertentangan dengan hukum syari’at. Artinya bid’ah yang bertentangan dengan syari’at tidak mencakup bid’ah yang sesuai atau bahkan sejalan dengan tatanan syari’at. Maka lafadz  كل بدعة di sini memiliki makna ‘am ( umum) yang ditakhsis dari sebagian bid’ah bukan mencakup terhadap keseluruhan bid’ah.

Perlu ditekankan disini bahwa merayakan maulid Nabi memanglah bid’ah. Namun pertanyaannya, pantaskah acara yang dipersembahkan untuk Rasulullah yang berisi kegiatan-kagiatan yang bermanfaat seperti membaca sholawat kepada Rasulullah, khatmil qur’an, dars ilmiyah dan hal-hal positif lainya disebut sebagai hal yang bertentangan dengan hukum syari’at?

Ada cerita menarik dari al-Syahid Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi.

“Aku pernah diundang oleh orang yang mengingkari acara maulid ini. Dari orang yang menganggap Maulid bid’ah justru aku diundang olehnya dalam muktamar yang di dalamnya memperingati sekian tahun lahirnya Muhammad bin Abdul Wahab. Muktamar ini begitu megah dan aku tak tahu berapa jumlah biaya yang dikeluarkan untuk semua itu. Aku pun menulis surat untuk orang yang mengundang, dan aku katakan di situ, “Anda menganggap acara itu (perayaan milad) adalah bid’ah, dan karenanyalah aku tidak menghadiri undangan Anda. Namun anehnya, bagaimana mungkin acara itu bid’ah jika itu untuk Muhammad Rasulullah. Kemudian acara tersebut menjadi hal yan baik ketika untuk kepentingan Muhammad bin Abdul Wahab, bagaimana ini? Bagaimana mungkin acara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad itu bid’ah? Kemudian peringatan tahunan hari lahir Muhammad bin Abdul Wahab sebagai perbuatan baik dan ucapan terima kasih yang mendapat pahala? Lalu apa kaidah ilmiah yang menyatakan ini bid’ah dan itu bukan bid’ah? Ini jelas dan kami tidak mengingkari apa yang mereka lakukan. Kami pun tahu bahwa mukatamar ini seperti halnya muktamar  yang lain  bukanlah ibadah. Itu sekedar kegiatan kumpul-kumpul yang diharapkan membawa kebaikan agama, insya Allah. Kami tidak mengingkarinya, tapi kenapa mereka mengingkari kami yang memperingati gegap gempitanya maulid Rasulullah sebagaimana dahsyatnya hari kelahirannya. Mengapa? Betul masing-masing peringatan mempunyai kesamaan. Dalam suatu muktamar, seminar, pertemuan ilmiah atau bahkan maulid, maka majelis tersebut harus terhindar dari kemungkaran. Harus terhindar juga dari perkara haram. Ini syarat mutlak yang harus dipenuhi. Sebab setiap adat yang dijadikan sebagai sarana untuk keburukan maka adat itupun tidak ada bedanya dengan perbuatan haram. Adapun maulid-maulid yang diselenggarakan di negeri-negeri lain, yang di dalamnya terdapat kebodohan dan perbuatan haram, maka itu bukan dari kami. Dan itu bukan maulid yang kami bicarakan. Selamanya! Dan kami adalah orang pertama yang mengingkari, bahkan menjauhkan perkara haram itu dari maulid Rasulullah Saw.”

Cerita Al-Buthi di atas merupakan gugatan beliau terhadap kaum liberalis yang meng-ilegalkan perayaan maulid Nabi. Beliau menegaskan bahwa tak ada larangan untuk menggelar acara apapun. Dengan catatan tidak ada kemungkaran ataupun perkara haram di dalamnya. Itulah syarat mutlak dari pusat yang harus dipenuhi.

Bukan tanpa alasan kita memperingati hari kelahiran Rasulullah. Diantara dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian ulama’ adalah firman Allah:

 قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Eits jangan salah, walaupun Nabi tidak pernah merayakan maulidnya seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang muslim, namun beliau istiqamah memperingati maulid dan hari pertama kali diturunkannya wahyu kepada beliau dengan puasa sunnah di hari senin.

Dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi, al-Suyuthi memaparkan redaksi terkait hukum perayaan maulid Nabi:

اصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن السلف الصالح من القرون الثلاثة, ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها, فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها, كانت بدعة حسنة. وقال ابن حجر: وقد ظهر لي تخريجها على اصل ثابت

Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

Mencintai dan memuji Nabi itu perlu. Bukan untuk Rasulullah, namun untuk diri kita sendiri. Mengapa ?. Karena dengan memuji Nabi kita akan semakin dikenal oleh Rasulullah sebagai umatnya. Sebagaimana hadits Nabi “orang yang paling dekat denganku di akhirat adalah orang yang paling sering membaca shalawat kepadaku”. Bahkan Allah pun telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Imran ayat 3: “katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka cintailah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian”. Tujuan perayaan ini bukanlah sebagai pengkultusan terhadap Nabi. Namun ini merupakan salah satu jalan pintas kita untuk menuju ridho Allah. Wallahu a’lam.

 

Editor    : Boy Ardiansyah

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *