PENOLAKAN KREDITUR UNTUK MENERIMA PELUNASAN HUTANG

Oleh : Muh. Fiqih Shofiyul Am
(Sekertaris LBM MWC NU Tanggulangin sekaligus Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo)

Hutang menjadi praktek yang sering terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang baik konsumtif maupun produktif, berbagai macam faktor seseorang untuk berhutang sebagaimana yang terjadi disekitar kita entah dengan model komsumtif gaya hidup atau bahkan memenuhi kebutuhan primer yang tidak bisa dihindari, atau dengan model produktif untuk membuka usaha dagang atau mengembangkan kerajaan bisnis.

Ada satu fenomena menarik yang terjadi dimasyarakat bahwa kreditur atau penghutang atau yang mempunyai uang tidak bersedia menerima pelunasan hutang yang dibayarkan oleh debitur, hal ini dikarenakan kreditur enggan untuk memutus keterkaitan bisnisnya dengan debitur lantaran debitur merupakan supliyernya sendiri berdalih khawatir akan ditinggalkan oleh debitur untuk tidak menyetorkan barangnya kembali kepada kreditur.

Lembaga Bahtsul Masail MWC NU Tanggulangin Sidoarjo pada hari jumat 04 Agustus 2023 membahas fenomena itu dan memutuskan beberapa analisis hukum yang terkait, diantarnya adalah status hutang debitur apakah sudah lunas ataukah masih menjadi tanggungan yang harus dia selesaikan.

Perlu diketahui bahwa pelunasan hutang itu sama halnya dengan jual beli yang membutuhkan adanya serah terima, dalam hal ini debitur harus menyerahkan uang tersebut kepada kreditur dan diterima seara fisik langsung oleh kreditur atau dalam fiqih sering diistilahkan dengan Qobdh Haqiqi.
Jika kreditur enggan menerima, maka perlu dicermati terlebih dahulu apakah uang yang diserahkan oleh debitur tersebut bisa untuk diambil oleh kreditur dengan tangannya sendiri semisal oleh debitur uang tersebut diletakkan didepan kreditur dan debitur tidak membawa uang itu kembali pulang setelah menyerahkannya kepada kreditur. Maka jelas hal ini masih terdapat kemugkinan untuk diarahkan kepada qobdh akan tetapi hukmi dalam arti sudah dianggap diterima dan lunas meskipun belum disentuh oleh tangan kreditur karena sangat jelas bahwa kreditur mampu untuk mengambil uang tersebut hanya saja dia enggan melakukaknnya.

Sebagaimana menurut Syaikh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib juz 2 halaman 87 sebagai berikut:

وَإِنْ وَضَعَ الْبَائِعُ الْمَبِيعَ أَوْ الْمَدْيُونُ الدَّيْنَ بَيْنَ يَدَيْهِ ) أَيْ مَنْ لَهُ الْقَبْضُ ( بِأَمْرِهِ كَفَى وَكَذَا لَوْ ) سَكَتَ أَوْ ( نَهَاهُ ) كَأَنْ قَالَ لَا تُقْبِضنِيهِ أَوْ قَالَ لَا أُرِيدُهُ وَلَا مَانِعَ مِنْ أَخْذِهِ لَهُ لِوُجُوبِ التَّسْلِيمِ وَالتَّسَلُّمِ كَمَا فِي الْغَصْبِ بِخِلَافِ الْإِيدَاعِ فَإِنَّهُ لَا يَحْصُلُ بِذَلِكَ

Dan jika penjual meletakkan barang dagangannya atau debitur meletakkan uang yang dia hutang dihadapan orang yang harus menerimanya (dalam hal ini adalah pembeli atau kreditur) dengan perintahnya maka sudah dianggap mencukupi terhadap tuntutan hukum, begitu juga jika dia diam atau melarang untuk meletakkan barang atau uang tersebut sebagaimana yang dia katakan “jangan menyerahkan itu kepdaku” atau mengucapkan “aku tidak menginginkannya” sedangkan tidak ada halangan baginya untuk menggapai hal tersebut maka dianggap mencukupi terhadap ketentuan hukum jual beli dan hutang piutang karena kewajiban menyerahkan barang atau hutang kepada yang mempunyai hak dan juga kewajibannya untuk menerima penyerahan tersebut sebagaimana dalam kasus penyerahan barang yang dighasab, tidak sebagaimana dalam kasus wadi’ah atau titipan.

Meskipun demikian problematika ini tidak menutup adanya perbedaan diantara para ulama, walaupun al-Anshari tidak menyebut adanya khilaf secara jelas hanya menyinggung pemasalahan ini tidak bisa disamakan dengan pengembalian barang wadi’ah atau akad penitipan akan tetapi lebih senada dengan pengembalian barang ghasab.

Imam Nawawi dalam Majmu Syarh Muhadzab juz 9 halaman 265 menyebutkan bahwa pendapat yang ashah adalah sudah cukup dianggap sebagai qobdh sebagaimana masalah penyerahan barang yang dighasab sebagaimana berikut:

ولو جاء البائع بالمبيع فقال المشترى ضعه فوضعه بين يديه حصل القبض فان وضعه بين يديه ولم يقل المشتري شيئا أو قال لا أريده فوجهان (أحدهما) لا يحصل القبض كما لا يحصل الايداع (وأصحهما) يحصل لوجوب التسليم كما لو وضع المغصوب بين يدى المالك فانه يبرأ من الضمان فعلى هذا للمشترى التصرف فيه
Jika penjual membawa barang daganganya kepada pembeli dan dia mengatakan “taruhlah” kemudian penjual menaruhnya dihadapan pembeli maka hal ini dianggap sebagai qobdh. Jika pembeli meletakkannya tanpa adanya perintah dari pembeli atau pembeli mengucapkan “aku tidak menginginkannya” maka ada dua pendapat, yang perama tidak dianggap qobdh sebagaimana dalam permasalahan wadi’ah, dan pendapat kedua yang lebih sahih menganggap adanya qobdh karena kewajiban menerima bagi pembeli sebagaimana ketika meletakkan barang yang dighasab dihadapan pemilik barang maka pelaku ghasab sudah terbebas dari ikatan dhaman, oleh karena itu bagi pembeli boleh menggunakan barang yang diserahkan oleh penjual tersebut.

Akan tetapi al-Nawawi lebih bersikap kepada tidak adanya qobdh dalam hutang karena ketidak jelasan uang yang diletakkan dekat kreditur itu sebagai pelunasan hutang ataukah bukan, maka mafhum mukhalafah-nya jika debitur mengatakan bahwa uang itu adalah untuk pelunasan hutang maka khilaf dalam hutang sama sebagaimana khilaf dalam mabi’ diatas, al-Nawawi menyebutkan sebagai berikut:

ولو وضع المديون الدين بين يدى مستحقه ففى حصول التسليم خلاف مرتب على المبيع وأولى بعدم الحصول لعدم تعين الدين فيه
Lantas apakah penolakan kreditur ini bisa dianggap berdosa ?. jika merujuk kepada hukum menunda pembayaran hutang ketika seorang debitur sudah mempunyai cukup uang untuk melunasinya atau diistilahkan dengan mumathalah yang dicuplik dari teks hadits “mathlu al-Ghany dzulmun” adalah haram, maka besar kemungkinan permasalahan ini juga bisa mengarah kepada hukum haram karena menghalangi debitur untuk segera terbebas dari tanggungan hutangnya. Wallahu a’lam bisshawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *